Sistem Istinbath Hukum Empat Imam Mazhab

Thanks for…

JUAL KAOS DISTRO ARAB

Sistem Istinbath Hukum Empat Imam Mazhab
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Muq. Mazahib fil Ushul

Dosen pembimbing: Ahmad Miftah Fauzi

Disusun oleh: Siswadi
JAKARTA
2012 M/ 1434 H

Sistem Istinbath Hukum Empat Imam Mazhab

PENDAHULUAN
Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari’at Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh hari Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih. Di dalam makalah ini penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath masing-masing imam mazhab yang empat, yaitu imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad ibn Hanbal. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…

PEMBAHASAN
Sebelum membahas sistem istinbath imam-imam mazhab, akan lebih utama jika memahami dahulu apa itu istinbath dan apa itu sumber hukum Islam. Dibawah ini akan sedikit dijelaskan mengenai sumber hukum Islam dan Istinbath. Semoga dengan pemahaman kita itu dapat mempermudah untuk memahami sistem istinbath empat Imam Mazhab.

1. Pengertian Sumber Hukum Islam
Kata “Sumber Hukum Islam” terdiri dari tiga kata yaitu sumber, hukum, dan Islam. Adapun kata “sumber” yang dalam bahasa arabnya مصدر- مصادر”” yang berasal dari akar kata “صدر- يصدر“ berarti tempat terbit sesuatu atau asal sesuatu. Yang dimaksud dengan sumber disini ialah apa-apa yang dijadikan bahan rujukan bagi ulama dalam merumuskan pendapat-pendapat hukumnya (fiqih).
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan juga dalam bahasa Indonesia baku. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan menemukan artinya secara definitif.
Untuk memahami pengertian Hukum Islam perlu terlebih dahulu diketahui kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum”, karena setiap definisi akan mengandung titik lemah. Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian “hukum”, berikut ini akan diketengahkan definisi hukum dalam arti yang sederhana, yaitu: seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun oleh orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”. Definisi tersebut tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah dipahami.
Bila kata “hukum” dalam pengertian diatas dihubungkan dengan kata “Islam” atau “syara'”, maka “hukum Islam” akan berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan atau sunnah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”. Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan-peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Kata “yang berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW” menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, atau yang populer dengan sebutan “syari’ah”. Kata “tentang tingkah laku manusia mukallaf” mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Sementara itu, kata “hukum Islam” juga berhubungan dengan kata “syari’ah”. Secara leksikal syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata “syari’ah”. Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Di antara ulama ada yang mengkhususkan lagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang diriwayatkan oleh al-Thabari, ahli tafsir dan sejarah, sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, menggunakan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban, hak, perintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya”. Dr. Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syari’ah ialah “apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabinya. Allah adalah pembuat syari’ah yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia”.

2. Pengertian Istinbath
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “استنبط- يستنبط- استنباط” yang berarti mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah “نبط- ينبط- نبطا- نبوطا (الماء) ” berarti air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni.

3. Pengertian Mazhab
Menurut bahasa, mazhab (مذهب) berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” (ذهب) yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu (الرأى) yang artinya “pendapat”.
Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.

A. Sistematika Sumber Hukum Islam
Keempat Imam mazhab sepakat mengatakan bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah SWT.
Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur’an dan sunnah seperti Qiyas, Istihsan, Istishlah, dan lainnya, tetapi dalil ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Karena hanya sebagai alat bantu untuk memahami Al-Qur’an dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode istinbath. Oleh karena yang disebut sebagai “dalil-dalil pendukung” di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode istinbath, para ulama Imam mazhab tidak sependapat dalam mempergunakannya sebagai sumber hukum Islam.

 Sistem Istinbath Imam Abu Hanifah
Biografi imam Hanafi
a. Awal kehidupan
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang paling dahulu lahir juga wafatnya, ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat dalam masyarakat yang menghimpun factor-faktor positif dan factor-faktor negative, sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra’y (Imam Aliran Rasional)
Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli Nu’mam bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa persi ( Kabul Afganistan) yang menetap di Kuffah, tsabit bapak dari abu hanifah lahir sebagai seorang muslim dan diriwayatkan dia berasal dari bangsa anbar. Adapula ia mukim di tirtmidz, ada lagi yang mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia bermukim di tiap-tiap kota itu sementara waktu. Ia adaalah seorang pedagang yang kaya dan taat beragama, sebagai mana ia pernah berttemu dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang imam mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan keberkahan.
b. Pendidikan Imam abu Hanifah
pada masa abu hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabta yang paling akhir wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru kepada mereka. Mengapa tidak berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu hanifah masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87 hijriyah sehinggga umur abu hanifah pada waktu itu baru 7 tahun, dan seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur Imam Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau 92 atau 95 hijriyah dank ala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.
Sampai akhir hayatnya, Imam Abu Hanifah belum mengkodifikasikan metode penetapan hukum yang digunakannya, meskipun secara praktis dan aplikatif telah diterapkannya dalam menyelesaikan beberapa persoalan hukum. Thaha Jabir Fayadl al-‘Ulwani, sebagaimana yang dikutip oleh Jaih Mubarok, membagi cara ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua cara: cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri, yaitu:

انى آخذ بكتاب الله اذا وجدته، فما لم اجده فيه اخذت بسنة رسول الله والآثار الصحاح عنه التى فشت في ايدى الثقات. فاذا لم اجد في كتاب الله و سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم اخذت بقول اصحابه اخذت بقول ما شئت ثم لا اخرج عن قولهم الى قول غيرهم، فاذا انتهى الامر الى ابراهيم والشعبي وابن المسيب (عدد رجالا) فاجتهد كما اجتهدوا…

“sesungguhnya aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Qur’an apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, aku merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, Al-Sya’bi dan ibnu Al-Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagai mana mereka berijtihad.”
Sahal ibn Muzahim, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, menerangkan bahwa dasar-dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqih adalah: “Abu Hanifah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan muamalat manusia dan adat serta ‘uruf mereka itu. Beliau memegang Qiyas. Kalau tidak baik dalam satu-satu masalah didasarkan kepada Qiyas, beliau memegangi istihsan selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak, beliau berpegang kepada adat dan ‘uruf. Ringkasnya, dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah, ialah:
a. Al-Qur’an
b. Sunnah Rasulullah SAW (hadits) dan atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur di antara para ulama.
c. Fatwa-fatwa para sahabat
d. Qiyas.
e. Istihsan.
f. Adat dan ‘uruf masyarakat.
Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan, “Inilah pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah ada orang yang berkata kepadanya, “Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?”. Ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi”.
Dari keterangan di atas, tampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy dari Al-Qur’an atau dari hadits yang diragukan keshahihannya, ia selalu menggunakan ra’yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadits. Imam Abu Hanifah memperhatikan muamalat manusia, adat istiadat serta ‘urf mereka. Beliau berpegang kepada Qiyas dam apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan Qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka beliau berpegang kepada adat dan ‘urf. Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah SAW yang banyak mengetahui hadits. Di Kufah kurang perbendaharaan hadits. Di samping itu, kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persia, kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum pernah terjadi di zaman Nabi, atau zaman sahabat dan tabi’in, maka untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau ra’yu. Di Kufah, sunnah hanya sedikit yang diketahui di samping banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits, dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau banyak menggunakan ra’yu. Sedangkan cara ijtihad Imam Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
a. Bahwa dilalah lafaz umum (‘am) adalah qath’iy, seperti lafaz khash
b. Bahwa pendapat sahabat yang “tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah bersifat khusus
c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
d. Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat
e. Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya
f. Mendahulukan Qiyas Jali atas khabar ahad yang dipertentangkan
g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.

 Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Malik
Biografi Imam Malik
a. Awal kehidupan
Nama lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-asybahi al-‘araby al-Yamaniyah, lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M). Ayahnya berasal dari kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan ibunya bernama ‘Aliyah binti syuraik dari kabilah Azdi. Kakek imam Malik datang berhijrah ke negeri Madinah setelah Rasulullah wafat, beliau merupakan seorang pembesar tabi’in, banyak meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Aisyah. Imam malik tidak pernah meninggalkan kota Madinah, kecuali untuk menunaikan ibadah haji sampai beliau wafat pada tanggal 14 Rabi’ul Awal tahun 179 H dalam usia 87 tahun.
b. Guru-guru Imam Malik
Imam malik mendapatkan ilmu fiqh dan sunnah dari para gurunya, diantaranya Abdurrahman bin Hurzum, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-zuhry, Abu Az-zanad, Abdullah bin Dzakwan, Yahya bin Sa’id, dan Rabi’ah bin Abdirrahman.
c. Murid-murid Imam Malik
Banyak murid Imam Malik yang menjadi ulama terkenal pada masa sesudahnya. Berikut ini adalah murid-muridnya yang menjadi fuqaha dan ahli hadits:
Yang berasal dari Mesir antara lain: Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim Al-Quraisyi, Abu Abdillah bin Qosim Al-A’taqi, Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qoisy Al-A’miry Al-ja’dy, Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin A’yun bin Al-Laits, Ashbah bin Alfaraj Al-Amawi, Muhammad bin Abdul Hakam, Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al-Iskandari Al-Ma’ruf bin ibni Mawaz.
Yang berasal dari afrika dan Andalusia (spanyol) antara lain: Abu Abdillah Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi Al-Ma’ruf bisyabtun, I’sa bin Dinar Al-Andalusi, Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi, Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As-Salami.

Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:
a. Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
b. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).
c. Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo, yang dimaksud dengan ijma’ ahl al-Madinah tersebut ialah ijma’ ahl al-Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.
e. Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’iy. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.
f. Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan”. Dari ta’rif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif. Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan mashlahat atau menghindarkan madharat.
g. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur’an, sunnah atau ijma’.
Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.
h. Sadd Al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i. Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.
j. Syar’u Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaedah syar’u man qablana syar’un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang menyatakan demikian. Menurut Abd. Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Qur’an dan sunnah shahihah mengisahkan suatu hukum yang pernah diberlakukan buat umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula di dalam Al-Qur’an dan sunnah shahihah, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita.

d. Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Syafi’i
Biografi Imam Syafi’i
a. Awal Kehidupan
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul Manaf.Imam Syafi’i lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H. di Gaza, tidak lama kelahiran beliau, ayah beliau wafat. Ibu beliau bernama Fatimal al-Azdiyah, salah satu kabilah di Yaman. Imam Syafi’i kecil memiliki kecerdasan yang mengagumkan serta kecepatan hapalan yang luar biasa. Beliau pernah berkata: “Saat aku di kuttab, aku mendengar guruku mengajar ayat-ayat Alquran, maka aku langsung menghapalkan, apabila dia mendiktekan sesuatu. Belum selesai guruku membacakannya kepada kami, aku telah menghafal seluruh apa yang didiktekannya. Maka dia berkata kepadaku suatu hari: Demi allah, aku tidak pantas mengambil bayaran dari kamu sesen pun”. Imam Syafi’i amat gemar mengembara, khususnya bertujuan menuntut ilmu. Beliau pindah ke Madinah untuk belajar fikih kepada Imam Malik, pada usia dua puluh tahun sampai Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. pada tahun 184 H, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafi’i didatangkan ke Baghdad bersama sembilan orang lainnya atas tuduhan menggulingkan pemerintahan. Namun beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-Hasan Al-Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari menjadi guru beliau. Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi’i kembali ke Mekkah al-Mukarramah, dengan membawa ilmu ahl ra’yu, yang dia peroleh dari Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh dari Imam Malik. Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad yang bertujuan untuk berdiskusi tentang fikih. Tidak lama di Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal tahun 199 H. tak lama setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 2004 204 H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Konon beliau sebelum wafat menderita penyakit wasir yang parah, hingga terkadang jika naik kuda, darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaos kakinya. Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir. Selain itu, beliau terus mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.
b. Guru-Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl ra’yu dan ahl hadis (Kufah dan Madinah), di Kufah Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Muhammad Ibn al-Hasan al Syaibani yang merupakan murid sekaligus sahabat dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah, beliau belajar kepada Imam Malik, beliau (Imam Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu, beliau juga berguru kepada ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi’i yaitu :
1) Mutharaf Ibn Mazim
2) Hisyam Ibn Yusuf
3) ‘Umar Ibn Abi Salamah
4) Yahya Ibn Hasan
Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi’i belajar kepada beberapa ulama antara lain:
1) Sufyan Ibn ‘Uyainah
2) Muslim Ibn Khalid al-Zauji
3) Sa’id Ibn Salim al-Kaddah
4) Daud Ibn ‘Abdurrahman al-‘Aththar
5) ‘Abdul Hamid ‘Abdul aziz Ibn Muhammad ad-Dahrawardi
6) Ibrahim Ibn Abi Sa’id Ibn Abi Fudaik
7) ‘Abdullah Ibn Nafi’.
Selain dua fikih di atas (aliran ra’yu dan hadis), Imam Syafi’i juga belajar fikih aliran al-Auza’i dari ‘Umar Ibn Abi Salamah dan fikih al-Laits dari Yahya Ibn Hasan.
c. Murid-Murid Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai banyak murid alam meneruskan kajian fikih dalam alirannya. Yang paling berperan dalam pengembangan aliran fikih Imam Syafi’i ini antara lain :
1. Al-Muzani
Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri yang lahir pada tahun 185 H serta menjadi besar dalam menuntut ilmu dan periwayatan hadis. Saat Imam Syafi’i datang ke Mesir pada tahun 1994, al-Muzani menemuinya dan belajar fikih kepadanya. Al-Muzani dianggap orang yang paling pandai, serdas serta yang paling banyak menyusun kitab untuk mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264 H. adapun kitab karangan beliau antara lain al-Jami’ al-Kabīr, al-Jami’ aş-Şagir, serta yang terkenal al-Mukhtaşar aş-Şagir.
2. Al-Buwaiti
Nama beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti, yang berasal dari Bani Buwait kampung di Tanah Tinggi Mesir. Beliau adalah murid sekaligus sahabat Imam Syafi’i yang tertua bekebangsaan Mesir dan pengganti atau penerus Imam Syafi’i, sepeninggalnya.beliau belajar fikih dari Imam Syafi’i dan mengambil hadis darinya pula serta dari Abdullah bin Wahab dan dari yang lainnya. Imam Syafi’i merupakan sandarannya dalam berfatwa serta pengaduannya apabila diberikan satu masalah padanya. Beliau selalu menghidupkan malam dengan membaca Alquran dan shalat serta selalu menggerakkan kedua bibirnya dengan berdzikir kepada Allah. Beliau wafat pada tahun 231 H. di dalam penjara Baghdad, karena tidak menyetujui paham Mu’tajilah yang merupakan paham resmi negara saat itu, tentang kemakhlukan Alquran. Beliau menghimpun kitab al-fiqh, al-Mukhtaşar al-Kabīr, al-Mukhtaşar aş-Şagir dan al-Fara’id dalam aliran Imam Syafi’i menjadi satu.
Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafi’i yang lain, yaitu ar-Rabi’ Ibn Sulaiman al-Marawi, ‘Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul a’la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Obn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn ‘Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Za’farani.
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam Istinbāţ hukum, antara lain :
1. Alquran dan sunnah
2. Ijmak
3. Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.
Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i, seperti yang dikutip DR. Jaih Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-Islam, yaitu sebagai berikut : rujukan pokok adalah Alquran dan sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam Alquran dan sunnah, hukumnya ditentukan dengan qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zahir. Apabila suatu lafaz ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir lebih diutamakan.hadis munqati’ ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab. As-Asltidak boleh diqiyaskan kepada al-asl. Kata “mengapa” dan “bagaimana” tidak boleh dipertanyakan kepada Alquran dan sunnah, keduanya dipertanyakan hanya kepada al-Furu’
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i menggunakan lima sumber, yaitu:
1. Nash-nash
baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau sunnah.
2. Ijmak
merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi’i menempati urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijmak pertama yang digunakan oleh imam Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijmak diakhirkan dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang sudah disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak adahujjah padanya.
3. Pendapat para sahabat.
Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijmak, atau mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4. Qiyas.
Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.
5. Istidlal. Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumberistidlal yang diakui oleh imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan undang-undang agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun begitu, kedua sumber ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafi’i sebagai dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi’i.[12]
6. Kaul Qadim dan Kaul Jadid.
Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Kaul Qadim dan Kaul Jadid. Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan Kaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’y. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur. Setelah tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut Kaul Jadid. Dengan demikian, Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan Kaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.
Beberapa contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:
a. Air yang terkena najis.
Kaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis selama air itu tidak berubah.
Kaul Jadid: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis apakah air itu berubah atau tidak.
b. Zakat buah-buahan.
Kaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan, walaupun yang tidak tahan lama.
Kaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat buah-buahan yang tidak tahan lama.
c. Membaca talbiyah dalam thawaf.
Kaul Qadim: sunat hukumnya membaca talbiyah dalam melakukan thawaf. Kaul Jadid: tidak sunat membaca talbiyah dalam melakukan thawaf.

 Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal
Biografi imam Hanbali
a. Awal kehidupan
Ibnu hanbal lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad setelah ibunya membawanya pindah keyika ia masih dalam kandungan dari kota marwa tempat tinngal ayahnya kekota bagdad. Ia adalah Abu aabdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban Al-Marwazi lalu Al-Baghdadi, nasab ibnu hanbal sampai kepada rasulullah saw, pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Penisbatan Inbu Hanbal yang terkenal adalah kepada kakeknya Hanbal, maka orang-orang mengatakan Ibnu Hanbal.
b. Pendidikan Ibnu Hanbal
Ibnu Hanbal hafal Al-Qur’anul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar membaca dan menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal pertama kali belajar kepada Abu yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid abu hanifah kepadanya ia belajar hadist dan fiqih, karenanya Abu Yusuf dikenal sebagai guru pertama Ibnu Hanbal. Namun pengaruh Abu Yusuf tidak begitu kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang berpendapat bahwaa Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya adalah Hasyim bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalahguru yang palin kuat pengaruhnya kepada Inbu Hanbal, Ibnu Hnbal berguru kepadanya selama empat tahun.
Disela-sela berguru kepada Hasyim, Ibnu Hanbal juga berguru kepada Umair bin Abdullah bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abu bakar bin Iyasy. Imam Syafi’I adalah salah satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang mneganggap bahwa Syafi’I merupakan guru kedua dari ibnu hanbal setelah Hasyim. Muhammad bin ishaq bi Khuzaimah mangatakan “Ahmad bin Hanbal tidak lain hanyalah merupakan salah satu pelayan Syafi’I”. ia juga berguru kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya Al-Qathan, Waki’ juga berguru kepada Sufyan bin Uyainah (pengganti Imam Malik).
Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:
1. Nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.

2. Fatwa para sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa para sahabat, maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if
Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan hadits mursal dan hadits dha’if. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dha’if.
4. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha’if, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan dalam keadaan dharurat (terpaksa)
5. sadd al-dzara’i
yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.

KESIMPULAN
a. Imam Hanafi
Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta dengan beliau (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi seorang yang berfatwa dengan perkataanku, selam ia belum mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila tifdak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jala pikiran dan ditiggal mana yang tidak sesuai.
b. Imam Malik
Imam Malik pernah berkata: ” saya seorang manusia, dan saya terkadang salah terkadang benar. Oleh sebab itu lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya, jika sesuai dengan al-qur’an dan sunnah maka ambilah dia dan jika tidak sesuai maka tingglkanlah”. Artinya bahwa jika beliau menjatuhkan hukumnan dalam masalah keagamaan, dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu bukan dari nash al-qur’an dan sunnah, maka masing-masing kita disuruh untuk melihat dan memperhatikannya kembali dengan baik tentang buah fikirannya, terlebih dahulu harus dicocokknya dengan nash yaitu al-qur’an dan sunnah.
Pada suatu waktu beliau juga pernah megatakan bahwa tidaklah semua perkataan itu lalu diturut sekalipun ia orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan. Kita tidak mesti mengikuti perkataan orang itu jelas berlawanan atau menyalahi hukum-hukum rasul, maka kita diperbolehkan untuk mengikutinya”. Dengan demikian jelaslah, bahwa kita dilarang bertaqlid kepada pendapat-pendapat dan perkataan yang memang nyata tidak sesuai dengan petunjuk yang ada dalam al-qur’an dan sunnah. Demikianlah nasihat Imam Malik menganai taqlid.

c. Imam Syafi’i
Beliuselalu member peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja menerima apa-apa yang disampaikan oleh beliau samapikan dalam masalah agama, yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Diantara nasihat beliau tentang taklid buta, beliau pernah berkata kepada muridnya yaitu Imam Ar-Rabi : “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaklid kepadaku, dalam tiap-tiap yang apa aku lakukan, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena ia adalah urusan agama”.Dari pernyataan tersebut di atas kiranya cukup jelas pendapat imam Syafi’I tentang taklid buta sungguh beliau melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya dalam urusan hokum-hukum agama.
d. Imam Hanbali
Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan ra’yu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap taqlid buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal Berkata “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana mereka Itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau melarang keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang mengambil segala sesuatu dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam). Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan ra’yu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap taqlid buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal Berkata “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana mereka Itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau melarang keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang mengambil segala sesuatu dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam)

DAFTAR PUSTAKA

Yanggo, Huzaemah Tahido, Dr. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, MA. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

11 responses

    1. terimakasih telah menyempatkan singgah di blog yang sederhana ini.

  1. Sangat bermanfaat
    Tulisan yang ilmiah

    Terima kasih

    1. alhamdulllah
      terimakasih sudah mampir di blog yang sederhana ini

      1. ijin dibagikan ke mahasiswa pak
        sangat bermanfaat

    1. sama-sama
      mohon saran kritikan yang membangun karena masih banyak kekurangan dalam penulisan ini

  2. mantapppp.. hehe.. ada musiknya jgaaaa.. jdi gak bosen.. makasih kak…

    1. Sama-sama
      jangan bosan-bosan mengunjungi blog ini
      terima kasih banyak dan jangan lupa bahagia

  3. bagaimana cara kita menerapkan sumber hukum Islam, istinbat, dan mazhab dalam kehidupan sehari-hari?

Leave a comment